Pencarian
Polling
Bagaimanakah Website Masjid Agung Jami Malang ?
 
Jumlah Pengunjung
mod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_counter
mod_vvisit_counterHari Ini470
mod_vvisit_counterKemarin1392
mod_vvisit_counterMinggu Ini2135
mod_vvisit_counterMinggu Lalu6040
mod_vvisit_counterBulan Ini18901
mod_vvisit_counterBulan Lalu23457
mod_vvisit_counterJumlah3106508

We have: 3 guests, 2 bots online
IP: 127.0.0.1
23 Apr, 2024



PostHeaderIcon Terbaru

Bunglon dan Keselamatan
Oleh: Mohammad Sobary

Bagaimana upaya memanjat supaya selalu selamat
Bagaimana cara jatuh supaya tidak mengaduh
Kakekku yang amat cermat, turunkan ilmu secara cepat
(Taufiq Ismail)

Adakah hal yang begitu penting dalam  hidup  kita,  melebihi keselamatan?   Agama mengajarkan perilaku agar manusia memperoleh keselamatan. Islam memiliki doktrin selamat dunia dan  akhirat.  Kristen  menekankan  salvation  (penyelamatan jiwa).

Ketika saya mau hijrah ke Jakarta dua  puluhan  tahun  lalu, nenek,  kakek,  ayah, paman, pakde, dan tetangga-tetangga memberi saya sangu (bekal) slamet (selamat). "Tak  sangoni slamet" (aku bekali kau selamat), kata mereka. Tiap kali saya pulang ke kampung, yang pertama-tama mereka tanyakan ialah apakah saya dalam keadaan "selamat".

Pak Arno, salah seorang guru SMA saya, memberi saya petuah tentang empat "S" (sluman, slumun, sarwo, slamet). Intinya, bergaul di mana saja, dalam kelompok apa saja, orang harus berperilaku begitu rupa agar jangan lupa  memperhitungkan upaya mencari selamat.

Pinter  itu  perlu,  tapi  pinter yang membawa selamat. Kaya juga baik, asal kekayaan itu juga membikin kita selamat. Miskin pun tak dicela, karena bukankah yang penting selamat? Kalau jasad dan jiwa selamat, harta bisa dicari. Ditambah  moralitas  Jawa  bahwa hidup di dunia cuma sesaat, ibarat cuma orang mampir  ngombe (singgah  buat  minum  di kedai),  sikap  toleran terhadap kemiskinan dan mengutamakan keselamatan di dunia yang kelak  akan  tiba,  menjadi  lebih jelas lagi. Selamat terletak di atas segalanya!

Di depan gedung LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) itu ada jalan memotong ke arah kompleks  perumahan  menteri. Di jalan itu mangkal  sejumlah kecil ojek. Satu di antara tukang ojek itu seorang kakek dari Blitar, Jawa Timur. Saya sering menggunakan ojek kakek itu. Vespa tua itu tersuruk-suruk di jalan-jalan Jakarta, mengantar penumpang dengan mengutamakan  keselamatan. "Biar  pelan asal jalan, lambat tapi selamat," kata kakek itu.

Ketika baru kenal tiap kali mau berangkat dengan  vespa  itu saya  selalu  ditanya,  apakah  saya  terburu-buru.  Sebagai sesama Jawa, saya paham ke mana  arah  pertanyaannya.  Maka, biarpun  saya  harus  mengejar  waktu,  saya selalu menjawab bahwa waktu saya cukup longgar. "Soalnya, Pak," kata kakek itu, "bagi saya yang penting  itu selamat.  Kalau  penumpang  terburu-buru pun akan saya minta kerelaannya untuk  saya  antar  secara  pelan  asal  jalan," katanya.

Ketika  sebuah  Kopaja  berhenti  mendadak,  dan  kakek  itu terpaksa menginjak rem secara mendadak juga, sehingga  ujung ban  depan  vespanya  hampir menempel bagian belakang Kopaja yang sembarangan itu, si kakek bukannya hanya  tidak  marah, melainkan malah merasa beruntung. "Untung  tidak  nabrak,"  katanya  kalem.

Ketika  bus  kota memepetnya di trotoar, dia cuma  menggerutu:  piye  bus  iki karepe ("apa maunya bus itu"). Rem diinjak dengan kalem. Dan kami berhenti. Tak ada makian apa-apa. Yang ada malah sikap syukur, karena bagaimanapun semuanya selamat.

Kalau   prinsip  mengutamakan  selamat  di  jalan  raya  itu terdengar oleh Polantas, kakek kita dari  Blitar  itu  pasti mendapat  hadiah  istimewa. Sekurang-kurangnya ucapan terima kasih.

Prinsip "asal selamat" itu tak cuma berlaku di jalan raya. Dalam tiap langkahnya kakek itu menomorsatukan keselamatan. Ia memang bukan sembarang tukang ojek. Ia dulu pernah bekerja di  kantor.  Memang  benar,  ia hanya pegawai rendahan. Tapi pernah  ia  menolak  perintah  atasan  untuk  menandatangani kuitansi  fiktif.  Semua  pegawai  sudah bertandatangan, dan mereka kebagian rejeki. Cuma si kakek dari Blitar  yang  tak mau.

"Saya  butuh  uang seperti mereka juga. Tapi saya tak setuju caranya,"  katanya.  "Cara  itu  tidak   membawa   selamat," tambahnya.
"Lho,   bukannya   atasan  yang  menyuruh?  Bukankah  atasan menanggung semuanya?" kata saya.
"Betul. Tapi atasan saya itu  punya  atasan.  Dan  atasannya atasan  saya  juga punya atasan lagi. Raja yang paling kuasa pun punya atasan. Kepada atasan yang paling  atas  itu  saya takut ...," katanya.

Kakek  kita  dari  Blitar  ini  mengingatkan saya pada sajak Kisah Kakek dan Cucu Keluarga Chameleon  yang  ditulis  oleh penyair  top  kita,  Taufiq  Ismail. Chameleon alias bunglon memiliki kemampuan untuk secara alamiah  menyelamatkan diri dengan cara mengubah warna kulit sesuai keadaan sekitar.

Dalam sajak  itu, kakek bunglon menceritakan pengalamannya bahwa ia pernah ditangkap manusia. Dokter  hewan  yang  bisa bicara  bahasa  bunglon  telah  memindahkan bintil-bintil di bawah kulit dan getah di ujung  lidah  si  kakek,  ke  tubuh manusia. "Dalam waktu dua musim hujan saja, sesudah bintil-bintil itu masuk ke kulit manusia, manusia di  dunia  ini  sudah  lebih sempurna cara berganti warna mereka. Dan  lidah mereka, semakin bergetah keadaannya," tulis Taufiq Ismail lagi.

Teman-teman kakek dari Blitar itu mungkin juga sudah menjadi bunglon.  Mereka  menyesuaikan  warna  "tubuh" mereka dengan warna "tubuh"  sang  atasan.  Itulah  "ilmu  selamat"  dalam pengertian mereka.

Sebab,  kalau  mereka  menolak,  atasannya  akan  menganggap mereka klilip (penghalang)  dan  harus  disingkirkan.  Nasib mereka  kemudian  akan  sama dengan nasib kakek dari Blitar: terpental.

Di sini kita berhadapan  dengan  dua  fenomena: kakek dari Blitar dan kawan-kawannya. Sering kita harus memilih satu di antara keduanya. Ini pilihan  susah.   Dua-duanya   punya justifikasi sebagai "ilmu selamat".

Barangkali,  umumnya  kita  adalah  potret  dari kawan-kawan kakek kita dari Blitar karena dua alasan. Pertama, kita umumnya lebih mengutamakan upaya penyelamatan jasad ketimbang roh. Kedua, kita diam-diam telah  menukar  kulit kemanusiaan kita dengan kulit bunglon. Kita semua, pendeknya, mungkin sudah jadi bunglon. *

 
Selamat Datang di Website Resmi Masjid Agung Jami Malang - Indonesia , Kirimkan Kritik, Saran dan Informasi ke admin@masjidjami.com