Terbaru
Warning: Creating default object from empty value in /var/www/vhosts/masjidjami.com/httpdocs/modules/mod_latestnews/helper.php on line 109
Warning: Creating default object from empty value in /var/www/vhosts/masjidjami.com/httpdocs/modules/mod_latestnews/helper.php on line 109
Warning: Creating default object from empty value in /var/www/vhosts/masjidjami.com/httpdocs/modules/mod_latestnews/helper.php on line 109
Warning: Creating default object from empty value in /var/www/vhosts/masjidjami.com/httpdocs/modules/mod_latestnews/helper.php on line 109
Warning: Creating default object from empty value in /var/www/vhosts/masjidjami.com/httpdocs/modules/mod_latestnews/helper.php on line 109
Ukuran-ukuran Ikhlas
Oleh : Jalaluddin Rakhmat
Alkisah, ada seorang ustad. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Beberapa orang kaya memanggilnya untuk mengajarkan Alquran kepada anak-anaknya. Pada waktu yang ditentukan, ia datang ke rumah murid-muridnya dengan teratur. Ketika mempunyai uang, ia datang dengan kendaraan umum. Ketika tidak ada ongkos, ia berjalan kaki. Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.
Orang kaya yang pertama berkata, "Pak Ustadz, saya yakin Bapak orang yang ikhlas. Bapak hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar Bapak. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda."
Pak Ustadz termenung, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan. Ia mendengar kata-kata yang tampaknya benar. Tetapi, ia merasa ada sesuatu yang salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi di mana, ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ; ketika ia datang berjalan kaki atau dengan ongkos hasil pinjaman. Yang terasa adalah perutnya dan perut keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas. Ia diam, dan air matanya jatuh tak terasa.
Orang-orang kaya lainnya memberi uang transport yang sangat kecil, hampir tidak cukup untuk mengganti ongkos angkot yang telah dikeluarkannya. Seperti yang pertama, mereka juga menghiburnya dengan kata "ikhlas." Ia jadi bingung, "Kata Ikhlas" adalah kata yang agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas, dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia kuatir menjadi tidak ikhlas. Apa yang terjadi pada ustadz itu terjadi juga pada banyak mubaligh yang hendak berdakwah dari masjid satu ke masjid lain.
Saya pernah diundang untuk memberikan pengajian pada acara syukuran pernikahan, yang tempatnya jauh di sebuah kampung di Indramayu. Saya melewati jalan terjal, yang berkali-kali berbenturan dengan chasis kendaraan saya. Dan, saya meninggalkan tempat pengajian menjelang tengah malam dengan keadaan perut lapar, saya tidak menerima apapun. Saya ingin meminta paling tidak pengganti bensin dan ongkos sopir. Tapi saya kuatir saya tidak ikhlas. Bukankah saya tidak boleh menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Seperti Pak Ustadz tadi, saya merasa ada yang tidak beres dalam pengertian ikhlas itu, tetapi saya tidak tahu dimana.
Tiba-tiba saya menemukan "yang tidak beres" dalam makna ikhlas, seperti yang diucapkan orang kaya tersebut. Kata Ikhlas telah digunakan untuk memukul para mubaligh. Konsep agama yang begitu luhur telah disalahgunakan untuk merampas hak para penyebar agama. Benarkah ikhlas artinya tidak menerima upah ketika mengajarkan Alquran, seperti kata orang kaya kepada Pak Ustadz kita? Benarkah ikhlas artinya tidak menerima pesangon untuk kegiatan dakwah?
Ikhlas dengan indah digambarkan dalam doa iftitah, yang setiap melakukan shalat selalu kita baca, "Sesungguhnya shalatku, pengurbananku, hidupku, dan matiku lillahi rabbil 'Alamin." Jadi, ikhlas ialah "mengerjakan segala hal lillah."
Ada tiga makna "lillah"; Pertama, karena Allah (lam yang berarti sebab). Kedua, untuk Allah (lam berarti tujuan). Ketiga, kepunyaan Allah (lam berarti milik). Makna-makna tersebut sekaligus menunjukkan tingkat keikhlasan. Untuk Allah adalah tingkat ikhlas yang paling tinggi.
Mari kita simak yang pertama; karena Allah. Bila Anda memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena Anda mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, dan Anda beramal karena Allah. Bila Anda menghentikan bantuan kepada orang itu, karena ternyata orang itu tidak berterima kasih, bahkan ia menjelek-jelek Anda dimana-mana, Anda tidak ikhlas. Sebab amal Anda sangat dipengaruhi oleh reaksi orang lain. Anda bersemangat beramal, ketika orang-orang menghargai Anda, memuji, atau paling tidak memperhatikan Anda. Namun, Anda kehilangan gairah untuk berjuang, ketika orang-orang mencemooh, menjauhi Anda, atau bahkan mengganggu Anda.
Perhatikan motif yang menggerakkan perilaku Anda. Bila melakukan sesuatu karena ingin menjalankan perintah Allah, tidak peduli bagaimanapun reaksi orang kepada Anda. Anda benar-benar ikhlas. Anda berikan bantuan kepada orang yang kesusahan, walaupun ia tidak berterima kasih. Anda meneruskan perjuangan Anda, walaupun Anda dijelek-jelekkan orang.
Allah melukiskan orang-orang ikhlas ketika mereka berkata, "Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih. (QS 76:9).
Bagaimana bila Anda menuntut upah setelah memberikan pengajian? Bila Anda menuntut upah itu karena Anda tahu, bahwa Allah melalui Rasul-Nya menyuruh kita untuk menuntut hak, Anda masih ikhlas. Tapi, Anda menjadi tidak ikhlas, justru ketika menolak untuk menerima hak Anda, karena takut disebut tidak ikhlas, atau menolak pemberian orang karena menjalankan perintah Allah, tetapi menginginkan kesan tertentu pada orang banyak.